Indonesia pernah termasyhur akan kekayaan alamnya. Sumber daya yang melimpah, dengan iklim yang dipuja penduduk dunia, memanjakan keseharian penduduknya. Sayangnya dengan segala kenikmatan yang dimilikinya, tidak dibarengi dengan upaya menjaga tanah air ini dengan seksama.
Perubahan iklim di bumi pertiwi semakin terasa. Mulai dari perubahan suhu yang semakin meningkat, kekeringan yang makin marak terjadi, hingga bencana alam yang menelan korban jiwa. Tapi, sudahkah kita berupaya untuk menjaganya dengan sepenuh hati?
Fakta di lapangan mengatakan, perubahan iklim nyatanya juga mempengaruhi perspektif sosiologis di masyarakat. Pengaruh gender tidak dapat dipandang sebelah mata. Hasil penelitian Bridge (2008) menyatakan bahwa perempuan merupakan proporsi terbesar dari masyarakat miskin dunia, termasuk anak-anak dan remaja perempuan, sangat rentan terhadap perubahan iklim. Secara psikologis, perubahan iklim memiliki pengaruh berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dampak yang dirasakan oleh perempuan akan lebih berat dan lebih panjang, dikarenakan munculnya peran ganda akibat perubahan iklim tersebut (Rusmadi, 2016).
Peningkatan Suhu Berkelanjutan
Salah satu indikator perubahan iklim yang ekstrim adalah dengan meningkatnya suhu di atas rata-rata. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengamati anomali suhu serta memetakannya dalam periode 1981 sampai dengan 2020. Pada bulan Oktober 2020, tercatat kenaikan suhu 0,4 derajat Celcius di atas rata-rata. Anomali ini merupakan perubahan suhu tertinggi kesembilan sepanjang periode data pengamatan tersebut.
Gambar: Anomali Suhu Udara Indonesia hingga Oktober 2020 (Sumber: BMKG)
Ekstrim perubahan iklim yang terjadi salah satunya diakibatkan oleh pencemaran udara yang menyebabkan pemanasan global. Pengolahan limbah buangan industri yang tidak tepat pun menjadi faktor meningkatnya efek gas rumah kaca. Jika hal ini terus berkelanjutan, maka bencana seperti banjir hingga kekeringan dapat dipastikan akan melanda.
Beban Ganda Wanita
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, dampak perubahan iklim tak hanya mempengaruhi aspek fisik, tetapi juga psikologis. Perempuan cenderung terkena dampak yang lebih berat dari laki-laki akibat perubahan iklim yang ekstrim. Sebuah studi yang dilakukan oleh the London School of Economics and Political Science terhadap 141 negara yang terkena bencana pada periode 1981-2002, mengungkapkan bahwa perempuan ternyata merupakan korban terbesar dari berbagai bencana alam yang terjadi.
Penelitian yang dilakukan oleh Rochmayanto (2012) terhadap masyarakat pegunungan di Kabupaten Solok, diketahui bahwa akibat dari perubahan iklim yang terjadi, perempuan “dipaksa” untuk memiliki peran ganda, yaitu selayaknya sebagai sosok reproduktif pengasuh anak dan pengurus kegiatan rumah tangga, pun mengambil peranan produktif untuk membantu perekonomian keluarga dengan bekerja bercocok tanam. Sayangnya masih banyak terjadi ketidakseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan ketidakadilan gender. Sebagai contoh, upah harian petani perempuan lebih sedikit ketimbang upah harian yang diterima oleh petani laki-laki. Padahal selepas menyelesaikan peran produktifnya, perempuan masih dituntut untuk memenuhi kegiatan reproduksi (mengasuh, membereskan rumah, melayani suami), sedangkan laki-laki tidak.
Selain itu, masih pula terdapat pengkotak-kotakan dan pelabelan negatif (stereotype) yang harus perempuan hadapi. Informasi dan kesiapan bencana cenderung lebih mudah diakses oleh laki-laki. Pun masih terbatasnya peran perempuan dalam politik kemasyarakatan dan pengambil kebijakan yang berpengaruh terhadap perubahan iklim. Hal ini menyebabkan perempuan dan anak-anak menjadi korban terbesar jika bencana alam terjadi.
Mitigasi Risiko dengan Gender Responsive
Pemerintah sepatutnya memasukkan faktor sensitif gender dalam setiap kebijakan yang diambilnya, tak terkecuali terhadap pola perubahan iklim. Peran kesetaraan gender atau pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) memiliki dampak yang signifikan apabila diterapkan secara bijak. Perempuan dapat menjadi agen perubahan (agent of change) terhadap pola pikir ramah lingkungan dalam masyarakat.
Beberapa langkah sederhana untuk mitigasi risiko perubahan iklim dengan memainkan peran perempuan dan responsif gender yang dapat dilakukan antara lain:
Meningkatkan kapasitas perempuan baik dalam pendidikan formal maupun non-formal seperti keahlian. Dengan tingkat pendidikan yang memadai, perempuan mampu mengurangi ketimpangan sosial terhadap lapangan kerja yang masih didominasi oleh laki-laki. Sehingga akses terhadap perbaikan kesejahteraan maupun persiapan dalam menghadapi bencana dapat teratasi. Berdasarkan hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018, kemampuan literasi dasar (membaca dan menulis) perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Pada tahun 2018, sebanyak 93,99 persen perempuan usia 15 tahun ke atas mampu membaca dan menulis huruf latin, arab, atau lainnya, sedangkan persentase laki-laki lebih tinggi, yaitu 97,33 persen. Seharusnya, dengan tingkat literasi yang baik, perempuan dapat menjadi agen perubahan terhadap perbaikan kualitas pengelolaan limbah rumah tangga. Peralihan gaya hidup ramah lingkungan tidak mustahil dapat tercapai, yang pada akhirnya ikut berkontribusi terhadap pengurangan pencemaran lingkungan.
Meningkatkan peran perempuan dalam bidang politik dan kemasyarakatan. Keterlibatan lebih banyak perempuan dalam kepemimpinan dan organisasi kemasyarakatan akan meminimalisir ketidakseimbangan informasi yang didapatkan karena permasalahan gender. Peran perempuan sebagai pengambil kebijakan juga mampu memperkaya sudut pandang sehingga peraturan yang ditetapkan bebas dari diskriminasi pihak manapun.
Menetapkan Agent of Change sebagai langkah kampanye kepedulian terhadap perubahan iklim. Untuk mewujudkan hal ini, peran generasi muda sangat krusial. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, 79% penggunaan internet oleh perempuan adalah untuk mengakses media sosial. Dengan memanfaatkan informasi tersebut secara tepat, maka kampanye peduli lingkungan akan tersalurkan secara masif dan berkelanjutan. Pola hidup berkelanjutan yang ditunjukkan oleh influencer muda dalam media sosial mereka, mampu mempengaruhi pola pikir pengikutnya untuk melakukan hal yang sama.
Seluruh kegiatan tersebut, mustahil tanpa adanya peran generasi muda yang signifikan. Peningkatan kualitas pendidikan, penambahan peran perempuan dalam bidang politik, hingga lahirnya agent of change dalam kampanye kepedulian lingkungan, semuanya ditujukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap ketimpangan gender yang masih dirasakan oleh kaum perempuan. Dalam jangka panjang, diharapkan seluruh kebijakan tersebut mampu melahirkan perempuan muda yang peduli dan berpengaruh pada lingkungan sekitar.
Comments
Post a Comment